Di malam yang sepi ini, saya menengok sekilas ke belakang dan mendapati angin dingin yang kehilangan kasih. Ia meliuk bebas dengan kencang. Memaksa daun-daun jatuh, memisahkannya pada pohon-pohon yang menyayanginya.
Namun, mereka hanya diam, memaklumi bahwa angin dingin yang mendamba kebebasan itu, sudah tak mampu mendengar bisikan rasa. Ia terlalu angkuh untuk melihat apa saja yang sudah diberikan siapapun kepadanya. Semua masih menyayanginya. Mereka hanya mengamati, menerka, kapan angin dingin ini mau menyapa tanah yang tak pernah ia sentuh, dimana semua berpijak.
Entah kapan ia mau menyapa daun yang pernah ia buat terbuai dengan hembusannya, lalu ia gugurkan, ia biarkan jatuh tak terarah, dan ia tinggalkan tanpa pesan, kecuali kenapa yang tak bisa ia jawab. Ia bahkan tidak pernah sadar apakah daun itu mengering atau terdampar di semak belukar.
Ia hanya peduli pada ujung langit yang terus ia kejar. Hingga ia semakin tinggi, semakin tidak peduli. Ia lupa bahwa kebahagiaan itu berbagi. Ambisi menyelimutinya hingga hanya ada dia dan hal apapun yang dia inginkan. Ia rampas, ia hempaskan, ia lupakan.
Ia hanya bisa membawa hujan deras yang tertahan dalam awan gelap yang ia rajut. Ia tidak mengerti itikad lain, selain lenyap, dan menerpa tempat lain yang ia temukan.
Di padang ilalang ini, hanya ada saya dan kesejukan. Hembusan angin sepoi-sepoi, dan tidak ada lagi dingin yang menyusup ke pori-pori terdalam. Ia semakin jauh, buram, dan saya kembali merasakan kehangatan, bahkan kala malam menyergap.
No comments:
Post a Comment