Pages

If there's no orange in the sky, i do try enjoying grey: I am a delusion angel.

19.11.12

Kita (kesekian)

Kita memang terpisahkan oleh bilik jendela.
"Engkau adalah kedekatan yang terasa jauh. Sangat jauh," katamu, suatu hari.

Selama kita masih dapat saling melihat, meskipun hanya dari balik etalase jendela, aku tak apa. Kira-kira begitulah jawabanku kala itu.

Di sudut sini aku menikmatimu sembari menyeruput teh poci. Kadang kopi. Dan aku melihat kamu menenguk - kadang air putih, kadang bir, kadang juga secangkir cokelat panas. Entah kenapa itu saja bisa membuatku tersenyum-senyum sendiri.

Meskipun aku sibuk membaca, aku juga tahu kamu memperhatikanku dengan seksama, sambil menerka-nerka, mungkin.. buku apa gerangan yang menyita perhatianku itu. Kerlingan mata tajam itu, tentu saja tak mungkin aku lupa.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, hujan mengguyur tempat kita. Begitu deras.
Jadilah jendela-jendela itu berembun, timbul tetes demi tetes air yang menyamarkan pandangan kita.
Aku tak dapat lagi melihat sosokmu dengan jelas.

Namun, aku cukup mengingat, bahwa kita sepakat, harum bau tanah sehabis hujan ini adalah beribu-ribu rasa tentang kita.

"Aku terus mengingat kenyamanan itu," katamu sebelum menjelma menjadi siluet, yang tak pernah tertangkap lagi.

Macet

Sumpah serapah melengking tanpa suara, di udara.
Udara yang terpolusi NO2 dan CO itu pun memampatkan nafas.
Ditambah sengatan matahari bagai mencekik leher, 
membakar kepala yang sudah dibasahi bulir bulir keringat sia-sia.
Semuanya membuncah dalam tumpukan kendaraan yang tak beraturan.
Di sebuah jalanan Jakarta yang banyak lubang.
Dan manusia-manusia yang sudah lupa akan kesabaran.