Pages

If there's no orange in the sky, i do try enjoying grey: I am a delusion angel.

29.10.12

Berfilosofi tentang kopi

Di perbatasan antara timur dan selatan, saya menemukan "rumah" kesekian.
Rumah utamanya adalah, sahabat lama saya.
Dan yang tidak saya duga, tokonya, melarutkan rindu, cerita, obrolan, kisah, bahkan diam dalam racikan yang begitu....sedap rasanya.

Disaksikan berderet-deret alat peracik kopi yang berjejer rapi, lalu lalang orang berfilosofi soal kopi, baik itu dengan menterjemahkannya dalam kata-kata atau seruputan di sore yang baru disiram hujan.

Kurang nikmat apa, saat mereka membicarakan kopi, mereka disuguhkan segelas cairan hitam yang membuat mereka datang ke situ, ke Philo Coffee. Mereka, termasuk saya, bisa menyaksikan sendiri sejak biji-biji kopi itu dihancurkan, diracik, dan siap diseruput......dan tanpa gula!






Bergelas-gelas "teh poci"

Entah kenapa, aku begitu menggemari teh poci.
Pahit sih, tapi disitulah nikmatnya.
Boleh lah aku taburkan sedikit gula, untuk penawar.
Tetapi rasa pahitnya akan datang lagi,
lagi, lagi.. lagi.....
Sepahit kenyataan yang aku minum, kamu teguk, kita habiskan bersamaan.

Kita sibuk berargumen, merumuskan kata-kata penolakan.
Tetapi sungguh, itu melelahkan.
Bagaikan meminum teh pahit ini, sedikit demi sedikit, kita ketagihan.
Saat aku melontarkan sumpah, "Hanya satu gelas saja!"
Sesudah itu aku tahu, aku tak bisa berhenti.

Tidak perlu kita mengakui bahwa kita sama-sama ketagihan.
Karena, "bergelas-gelas teh poci" yang berserakan di meja ini sudah cukup membuktikan.
Sementara, restoran ini sebentar lagi tutup.
Aku tahu kamu enggan beranjak, dan andai kamu tahu..aku pun ingin waktu tak gerak.

"Satu teko lagi, mas!" teriak kita pada pelayan.

Senja, aku, malam

Senja,
aku baru tersadar satu hal.
Segala keindahanmu yang menyilaukan ku, menarik ku pada kebahagiaan yang tak terdefinisi.
Bersamaan dengan itu, aku selalu belajar membebaskanmu, dalam setiap ujung sore.

Namun ternyata senja,
bukan kamu yang mengajari ku untuk belajar melepaskan.
Bukan kamu. Tetapi malam, ya, malam.
Dia yang merenggutmu, tetapi juga mengajarkan aku untuk membebaskanmu.

Maka, di sinilah aku. Bersembunyi dari balik jendela.
Kini aku tahu, aku tak harus menikmatimu dari barisan terdepan, dimana kamu selalu tahu ada aku di situ.
Aku selalu bisa menikmatimu, lewat sentuhan angin atau terpaan cahaya sore dari tempat yang tidak pernah kamu tahu.

Mungkin aku siluet yang bergerak-gerak itu,
Mungkin aku bayangan yang mengendap-endap dari  sebuah warung kopi atau gedung yang menjulang.
Mungkin aku gumaman yang bergaung di ujung gang, berbisik tak jelas.
Kamu, senja.. tidak perlu tahu.
Karena aku telah membebaskanmu....kepada malam.


16.10.12

Sajak dari balik jendela

"..Kutatap senja keemasan itu dengan perasaan yang rawan. Aku tidak mengerti, mengapa hatiku selalu merasa rawan setiap kali senja tiba. Senja ini juga membuat hatiku rawan. Apakah karena senja selalu seperti sebuah perpisahan?.." SGA

Saya coba bayangkan begini. Saya kembali melukis, namun diatas kanvas yang sudah tidak jernih lagi. Saya goreskan kuas dengan sembarang warna, dengan ragu. Kemudian saya berpikir. Tidak, sebenarnya saya tidak sedang berpikir sungguhan. Saya coba merasa, mengenang, dan saya kembali gagal.

Saya gagal menahan diri untuk tidak menorehkan apapun diatas kanvas itu. Tetapi mereka bertanya? "Kapan kamu melukis lagi?" Saya tidak peduli. 
Sampai akhirnya saya tahu ada yang tumbuh diam-diam menelusuk pagar yang mulai karatan itu. Memakannya, pelan-pelan, hingga hancur lebur, tak dapat saya bentuk lagi. Lalu saya dapati kosong yang mulai merayap.

"..Senja begitu cepat berubah, memberikan pesona yang menghanyutkan, sebentar, lantas meninggalkan bumi dalam kelam.." SGA

Saya hentikan gambar yang mulai absurd ini meskipun saya dapati warna yang tidak hanya hitam dan putih. "Kanvas ini begitu sempit" katamu, pura-pura tidak tahu. Sementara kamu tahu, saya benci apa saja yang disebut pura-puru dan menelan ironi realita bahwa saya pun sedang berpura-pura.

"..Senja begitu indah, tapi begitu fana - apakah segala sesuatu dalam kehidupan ini memang hanya sementara?" SGA

Dalam goresan ini, saya tahu ini begitu fana. Lukisan ini pun tidak akan abadi. Suatu saat entah akan dilukis apa, berwarna apa. Atau mungkin tidak berwarna? 
Mungkin saja. Karena yang pasti adalah, kamu yang fana.


*Tertanda:
Di atas awan bersama tuturan SGA. Pada sore kesekian, hanya jendela dan lagi-lagi tanpa senja*

11.10.12

Opera Alam

Kamu bisa bilang malam begitu keji
Karena memanggil romansa yang ingin kau tepis.

Tetapi siapa sangka?
Pagi tidak secerah harapan yang sudah kamu bungkus kemarin.
Ia juga bisa ingkar.

Namun, siang yang suram memang paling keterlaluan.
Padahal kamu sudah kehausan dan tak lagi membawa sisa harapan,
Hanya ratapan.

Tunggu dulu.
Mungkin jelmaan sore bisa menggiringmu untuk bangkit pelan-pelan.
Meskipun hanya sekedar menyaksikan siluet bayang bayang kenangan.