Pages

If there's no orange in the sky, i do try enjoying grey: I am a delusion angel.

25.7.13

Anggaplah aku bulan

Aku ingin mengucapkan salam kepadamu. 

Anggaplah aku bulan, yang terus mengintai, namun tak bisa kau capai.

Anggaplah aku bulan, yang membuat malam gelapmu menjadi lebih terang. Meskipun tetap temaram.

Anggaplah aku bulan yang kadang tak terduga datang bersama purnama, kadang redup bersama mendung, tak kelihatan. Kadang aku sepertinya menghilang, tak datang.

Anggaplah aku bulan, yang sejujurnya ingin meraihmu. Namun sungguh, aku tidak sanggup. Takdirku di sini. Takdirmu di sana.

Aku adalah bulan yang tanpa kamu tahu atau kamu mungkin sudah tahu, atau kamu tidak perlu tahu, bahwa aku terus mengintaimu.

Aku hanya apa yang sepertinya bisa kamu jangkau tetapi nyatanya keadaan telah memisahkan kita jauh, semakin jauh.

Aku adalah bulan yang hanya bisa diam. 

Entahlah.. semua pasti ada alasannya.

25.1.13

Ladang memori

Ladang memori itu tampak berkilau dari kejauhan
Menyeretmu pada romantisme yang berlebihan
Lalu tanpa sadar, kamu tak ingin pulang.

Bahkan, kamu tidak hanya tak ingin pulang
Tetapi tersesat di ladang memorimu sendiri
Romantisme tidak lagi indah
Ia menjerumuskan.
Begitu dalam.

6.1.13

Firasat, Keinginan

Ketika firasat dan keinginan berjejalan, berebut tempat di jalur kesadaran.
Aku menyerahkan semuanya pada waktu. Sebegitunya aku percaya.

Firasatku mengatakan, suatu malam aku bercerita tak henti dengan gerakan tangan kesana-kemari. Terlalu bersemangat. Kamu topangkan dagu, tersenyum, sesekali menghembuskan asap rokok sialanmu itu. Atau kita menikmati musik musik anti-mainstream itu, gila-gila bersama.

Tetapi kini, di sini, aku lebih menyukai begini. Kita berjarak, bertemu saja tak sengaja- sengaja tak sengaja. Aku memilih melanjutkan lamunanku di sudut, kamu mondar-mandir lalu menyulut rokok lagi. Aku suka begini, diam saja mengawasimu dari sudut mata.

Tetapi firasatku menjelma menjadi keinginan kemudian mewujud keresahan. Bertanya-tanya.

Kamu lontarkan janjimu, satu kali, dua kali.. Aku tanggapi acuh, tak peduli, dan bisik-bisik ke semesta, "Ayo, berikan pertanda. Aku ingin bermain-main lewat isyaratmu."

Menerka memang mengasyikan. Media kita untuk memacu adrenalin yang sesungguhnya. Namun sejak semalam, aku kelimpungan. Kenapa jadi aku yang dipermainkan oleh label firasat atau keinginan ini? Aku tak ingin mencuri waktu, sungguh. Aku ingin biarkan saja, biarkan adanya. Sesekali aku nekat melangkahi garis sumpahku itu sampai aku mulas-mulas, tak siap.

Jadi, mungkin, kita akhiri saja permainan kejutan ini? Karena firasatku (sepertinya) sudah melumer bersama keinginan sampai-sampai aku tidak sabar lagi. Dan ini bahaya, bagiku.