Pages

If there's no orange in the sky, i do try enjoying grey: I am a delusion angel.

29.2.12

Jingga pelangi..

 
Silent Jingga - Video by Perwiranta  


"Senja adalah semacam perpisahan yang mengesankan" - SGA

Hujan mengalah pada sore. Awan menyingkir pelan, menggiring abu-abu ke dalam persembunyian. Ada kejutan pada sore itu bagi kaum perindu. 

Semburat jingga mencuat, menembus jendela gedung-gedung bertingkat yang masih belum kering oleh hujan. Bahkan, dari balik sisa-sisa air yang menempel di jendela, terpancar titik-titik jingga.

Langit yang muram menjelma bagai negri senja yang menghadirkan potongan-potongan kebahagiaan bagi ribuan pasang mata. Waktu berhenti seketika. Semua terpana melihat senja yang menyapu langit dengan jingga, seutuhnya.

Itu belum selesai. Lalu, senja membawa pelangi dari kayangan. Pelangi menari, menyodorkan berlipat-lipat kebahagiaan untuk kaum-kaum suram. Kilatan mata gembira terpantul dari balik kaca. Waktu masih belum bergerak. Mereka masih sulit percaya, senja hadir bersama pelangi. Atau mereka terlalu terpana, untuk mengingat makna percaya.

Mungkin kah itu fenomena, atau itu bingkisan istimewa dari semesta?

Langit langsung menjelma menjadi mesin waktu. Kepingan-kepingan kenangan, bahkan harapan melintas saling beradu. Kebahagiaan yang melesak-lesak menyeruak bersama kehampaan. Impian lahir seiring kehilangan.

Lalu gelap, bagai ombak, menyapu jingga, menelan pelangi. Waktu bergerak. Para manusia masih terdiam, hingga langit kosong, hanya diisi kelam. Dan kemudian sadar, perpisahan akan selalu datang. Lukisan jingga pelangi di langit barusan, bagaikan analogi kesemuan.

Akan selalu ada gelap, setelah jingga. Akan selalu ada perpisahan, setelah pertemuan. Akan selalu ada kekosongan, setelah kegembiraan. Terkadang, putaran itu terjadi cepat, melampaui ambang kesadaran.

C'est la vie.....



23.2.12

om shanti shanti shanti..

Entah kenapa, seandainya punya tattoo, yang terbayang oleh saya adalah lambang Omkāra. Awal obsesi saya dengan lambang suku kata 'keramat' dalam agama Buddha dan Hindu itu, berawal dari  kalung berlambang OM yang diberikan sahabat saya bertahun-tahun yang lalu. Maka kalung itu kini menjadi sangat belel karena saya terus pakai..hahaha. Satu lagi, dalam OM saya selalu ingat masa-masa setiap hunting foto saat perayaan waisak di Borobudur... ommmm...ommmm...ommmmm bergema, bergaung, sangat merdu. Dan suatu hari, saya meliput acara kebudayaan India. lalalallalaa...Jadilah tattoo-tattoan dari mehndi, berlambang Omkāra!

om shanti shanti shanti..
Peace in body, speech, and mind. Adhi-daivikam, Adhi-bhautikam, Adhyatmikam.

Things Have Changed

.....
People are crazy and times are strange
I'm locked in tight, I'm out of range
I used to care, but things have changed


Malam kemarin. Sudah pukul tiga lewat, dalam pejaman mata, saya melihat bulir-bulir halus terbang menembus gelap yang tak berujung. Delusi gila itu berlanjut ketika kepala saya seolah-olah meleleh, bergabung bersama mereka menyusuri gelap, menyusul kemudian utuh badan saya yang bergerak bagai casper. Dalam setengah tidur, saya masih bisa merasakan kepala saya yang sakit luar biasa dan masih bisa terpikir, "mungkin ini karena selalu tidur pagi akhir-akhir ini."

I hurt easy, I just don't show it
You can hurt someone and not even know it
The next sixty seconds could be like an eternity


"Jadi, sekarang teman ngopi kamu siapa?" kata suara di sebrang telepon, sore itu.
Pertanyaan sederhana itu, entah kenapa, terngiang-ngiang hilir mudik ketika merindu tetes demi tetes waktu ngopi bersama teman-teman insomnia saya di Semarang. "Sudah tidak ada.."

Dulu saya masih berstatus mahasiswa, sedangkan mereka para wartawan yang mencoba menguapkan kepenatan mereka, dengan kopi, bir, kentang, kartu, rokok, obrolan, bahkan lamunan (untuk kepentingan pencitraan, saya bukan beers and cigarettes junkie..ehem).

Kami cukup konsisten, untuk menetapkan River View sebagai peraduan malam, dan kami cukup solid, bahkan hingga sekarang. Kadang saya berpikir, secara sengaja atau tidak, mereka lah yang membawa saya pun menjadi wartawan (lupakan kalau itu jebakan batman *bergumam*), meskipun nyasar di tulis bukan foto. pfuh.

Namun, Toko Oen, Warung Sedap Malam, pinggiran Polder Tawang, juga punya arti sendiri untuk saya. Kentang dan Eskrim Toko Oen yang bikin meleleh, juga suasananya yang klasik menjadi saksi bisu memori utuh saya menjadi 'lebih utuh', lebih dari sekedar nongkrong.

Lalu wisata Galeri. Minimnya galeri seni di Semarang membuat saya jengkel, namun saya menjadi rajin untuk datang di setiap acara pameran, seringnya tentu saja di Rumah Seni Yaitu dan Galeri Semarang. Meskipun saya kurang suka dengan rata-rata pengunjung pameran yang memiliki pose sama, dengan "mereka-mereka" yang kadang sok-high level dalam menuturkan karya, dan kumpulan-kumpulan komunitas yang merasa paling-iyess, namun aku hanya berkata peduli setan (lah...gw jadi nyanyi lagunya The Adams gini).

Gonna get low down, gonna fly high
All the truth in the world adds up to one big lie
I'm in love with a woman who don't even appeal to me


Lalu saya pulang kampung ke Jakarta. Kafe/warung kopi, galeri seni, jangan tanya banyak dan variasinya lah. Setelah sempat tersiksa bagai robot (secara rumah gw di pinggiran Jakata), saya pilih kos di jantung kota. Namun apa? saya tidak lagi tuh, meminum malam hingga pagi dengan ngopi di warung kopi, atau memburu pameran-pameran di galeri seni. Sekedar bertemu kawan di warung kopi itu pasti, karena begitulah gaya metropolis, namun itu tidak sering dan sebentar. Man, saya kehilangan partner. Atau karena rutinitas kerja dan lalu lintas Jakarta yang ganas? Ah, masa saya harus cari kambing hitam sih.

Mr. Jinx and Miss Lucy, they jumped in the lake
I'm not that eager to make a mistake


Dalam senandung Bob Dylan yang mau habis ini, itu lah sepotong memori kecil yang sudah usang. Hingga sekarang, saya masih rajin membersihkan debu-debunya, ketika saya bertemu dengan pagi, dengan suktara, dalam kesunyian sudut kamar, dan musik yang bersenandung bosan.

People are crazy and times are strange
I'm locked in tight, I'm out of range
I used to care, but things have changed 


{Humming Bob Dylan's - Things Have Changed}



16.2.12

Segelintir syair menjelang #Suktara

Dibalik gerombolan orang lalu lalang, komat kamit tanpa suara. Dalam hitungan inchi, kehidupan terbelah dua.

Ia enggan keluar, memilih menjadi tempat peraduan. Saat orang-orang acuh tak acuh, lalu lalang, ia bisa melihat semuanya. Jelas.

memisahkan dua kehidupan. Kebisingan dan kesepian.

selalu setia di balik kaca usang itu. Dia lah saksi bisu sang empu yang kadang melupakannya.

akan menjelma bagai peri, saat sang empu meraung-raung, mencarinya. Lalu ia pancarkan cahaya kuning yang menghangatkan.

Saat oranye dan abu-abu bertemu, ia tau bahwa itu hanya

Memintal , jika tidak hati-hati, kau akan tertusuk sendiri.

memang tidak pernah membosankan, begitu pun ia yang tidak pernah bosan untuk pergi tanpa pamitan.

Tetapi mungkin tidak kemana-mana, ia hanya tersembunyi dibalik dekapan gelap.

apa dosamu? Mungkin karena apa yang engkau bawa?

Alam semesta begitu kaya akan . Mengapa engkau masih meragu saat silau oleh bias yang berdusta?

Senja terlewati, tetapi #Suktara akan hadir seiring pagi :)

"Penyesalan adalah bunyi tanpa makna"

"Penyesalan adalah bunyi tanpa makna"

Sepotong bait "Jurnal Mimpi" Divakaruni yang saya baca dalam kereta menuju Kutoarjo yang melaju bosan di atas rel tua, terngiang-ngiang, dan terus saya baca ulang. Dia benar.

Kepingan-kepingan memori hadir bagai sekelebat sawah yang terlintas cepat di balik jendela kereta. Rangkaian cerita impulsif yang hanya-meninggalkan-ruang-kosong-berisi penyesalan-disusul-umpatan-pembodohan-diri, terkumpul dalam kantong yang usang. Mengingat itu semua, perut rasanya bergejolak, saya ingin hilang ke dalam perut bumi, lalu bangkit lagi dalam sosok yang asing.

Namun, diri saya yang lain mencoba membela diri. Semua orang pernah tampak bodoh dalam pikiran dan tindakannya yang impulsif. Dan itu fase. Namun, sebagian diri saya yang lain masih bersikeras ingin ditelan alam semesta, digodok menjadi jelmaan baru. Irasionalitas, menelusuk dalam setiap relung. Kita pernah salah, pernah memilih yang salah. Kamu pernah begini? Dan kamu belajar kan?

1.2.12

Membuncah

Di malam yang sepi ini, saya menengok sekilas ke belakang dan mendapati angin dingin yang kehilangan kasih. Ia meliuk bebas dengan kencang. Memaksa daun-daun jatuh, memisahkannya pada pohon-pohon yang menyayanginya.

Namun, mereka hanya diam, memaklumi bahwa angin dingin yang mendamba kebebasan itu, sudah tak mampu mendengar bisikan rasa. Ia terlalu angkuh untuk melihat apa saja yang sudah diberikan siapapun kepadanya. Semua masih menyayanginya. Mereka hanya mengamati, menerka, kapan angin dingin ini mau menyapa tanah yang tak pernah ia sentuh, dimana semua berpijak.

Entah kapan ia mau menyapa daun yang pernah ia buat terbuai dengan hembusannya, lalu ia gugurkan, ia  biarkan jatuh tak terarah, dan ia tinggalkan tanpa pesan, kecuali kenapa yang tak bisa ia jawab. Ia bahkan tidak pernah sadar apakah daun itu mengering atau terdampar di semak belukar.

Ia hanya peduli pada ujung langit yang terus ia kejar. Hingga ia semakin tinggi, semakin tidak peduli. Ia lupa bahwa kebahagiaan itu berbagi. Ambisi menyelimutinya hingga hanya ada dia dan hal apapun yang dia inginkan. Ia rampas, ia hempaskan, ia lupakan.

Ia hanya bisa membawa hujan deras yang tertahan dalam awan gelap yang ia rajut. Ia tidak mengerti itikad lain, selain lenyap, dan menerpa tempat lain yang ia temukan.

Di padang ilalang ini, hanya ada saya dan kesejukan. Hembusan angin sepoi-sepoi, dan tidak ada lagi dingin yang menyusup ke pori-pori terdalam. Ia semakin jauh, buram, dan saya kembali merasakan kehangatan, bahkan kala malam menyergap.