Pages

If there's no orange in the sky, i do try enjoying grey: I am a delusion angel.

29.12.11

Antara ada dan tiada

Barusan saya berbincang dengan sahabat saya, yang juga partner di kos dan di kantor; Ida. Ini mungkin perbincangan yang ke seribu kali-nya dengan tema yang sama:

Saya:
"Kita udah terlanjur kecebur, da. Masa mau tenggelam atau mengapung. Mending kita berenang, kan? Cari tepian. Kali aja di suatu tempat nanti ada dataran yang indah."

Ida:
"Lo abis tapa brata ya, mon?"

Saya:
*Jedotin kepala di tembok*

Pasti, tidak semua dari kalian mengerti saya bicara soal apa. Ibaratnya begini, saya berdiri di sebuah lingkaran konvensional yang bangun kesiangan. Anggap saja mereka bertugas untuk menciptakan taman, dengan tanaman-tanaman yang berkualitas, bermanfaat dan harus tumbuh baru tepat waktunya.

Mereka semakin terhimpit oleh taman-taman baru yang lebih modern. Herannya, bukannya bergegas memutar ide agar taman mereka tidak ketinggalan jaman dan bermutu, mereka masih saja membuka jendela masa lalu dimana taman mereka lah yang paling besar dan terpandang. Dan kurang terik apa sang matahari menyengat mereka?

Tidak mengejutkan, ketika taman itu menjadi sepi, suram, antara ada dan tiada. Taman itu mungkin tidak akan tergusur, tetapi sangat mungkin jika taman itu hanya akan menjadi taman yang kering kerontang.

Angin semakin kering. Tetapi mereka menutup mata. Tanaman-tanaman semakin kritis. Namun mereka sibuk mencari posisi yang bagus.

Lalu datang lah sekumpulan anak muda yang di kepalanya masing-masing, sudah ada bayangan taman terindah, seindah impian mereka. Mungkin kah mereka bisa menyuburkan tanah yang sudah kering kerontang? yang enggan dijamah? yang sudah nyaman dengan tanaman-tanaman yang kerontang? yang masih merasa aman selama lahan mereka tidak digubris?

Segalanya mungkin berubah. Kita sebut ini: tantangan :)



20.12.11

Question

Now, could you stand his stubborness? For at least ummm.. 20 years ahead?

19.12.11

Step back for step forward then..

Saya kembali dengan perasaan yang sama. Ketika saya membangun negri di senja, saat itu senja hadir untuk mengecewakan saya. Saya menyebutnya, pagi. Dia hadir bersama dengan langit mendung yang siap menumpahkan berton-ton air hujan. Dan, ya, hujan itu kemudian turun juga, deras sekali. Ditambah dengan petir yang tiba-tiba menyalak. Dia tidak mencoba untuk menahannya. Bahkan membiarkan saya merasakan itu semua bersama dengan ketidaktahuan saya. Kejutan itu tentu saja menyakitkan. Namun kabut membuat saya tetap berdiri menggigil kedinginan di atas genangan air. Dan saat itu, saya tidak bisa melihat bayangan saya. Saya terlalu bingung menangkap rentetan kejadian yang begitu cepat ini. Saya kembali kecewa, kali ini kepada pagi. Luka tetap menjadi luka. Taman ku rusak. Meskipun ia kemudian memberikan banyak bunga-bunga yang indah. Saya biarkan pagar taman kecil itu terbuka untuknya. Namun ia lupa, luka akan tetap menjadi luka. Dan saya lupa, luka tidak seharusnya untuk dipelihara. Saya menjadi begitu penuh pemakluman hingga lupa apa makna nyaman. Dia menyimpan penolakan-penolakan dalam bom waktu yang siap meledak. Kami gagal berkomunikasi dengan tepat. Namun dia tidak akan punya kesempatan untuk mengobati kekecewaan ini. And yes, he's the one who lose. Not me. He gave up. Me don't.