Ketika firasat dan keinginan berjejalan, berebut tempat di jalur kesadaran.
Aku menyerahkan semuanya pada waktu. Sebegitunya aku percaya.
Firasatku mengatakan, suatu malam aku bercerita tak henti dengan gerakan tangan kesana-kemari. Terlalu bersemangat. Kamu topangkan dagu, tersenyum, sesekali menghembuskan asap rokok sialanmu itu. Atau kita menikmati musik musik anti-mainstream itu, gila-gila bersama.
Tetapi kini, di sini, aku lebih menyukai begini. Kita berjarak, bertemu saja tak sengaja- sengaja tak sengaja. Aku memilih melanjutkan lamunanku di sudut, kamu mondar-mandir lalu menyulut rokok lagi. Aku suka begini, diam saja mengawasimu dari sudut mata.
Tetapi firasatku menjelma menjadi keinginan kemudian mewujud keresahan. Bertanya-tanya.
Kamu lontarkan janjimu, satu kali, dua kali.. Aku tanggapi acuh, tak peduli, dan bisik-bisik ke semesta, "Ayo, berikan pertanda. Aku ingin bermain-main lewat isyaratmu."
Menerka memang mengasyikan. Media kita untuk memacu adrenalin yang sesungguhnya. Namun sejak semalam, aku kelimpungan. Kenapa jadi aku yang dipermainkan oleh label firasat atau keinginan ini? Aku tak ingin mencuri waktu, sungguh. Aku ingin biarkan saja, biarkan adanya. Sesekali aku nekat melangkahi garis sumpahku itu sampai aku mulas-mulas, tak siap.
Jadi, mungkin, kita akhiri saja permainan kejutan ini? Karena firasatku (sepertinya) sudah melumer bersama keinginan sampai-sampai aku tidak sabar lagi. Dan ini bahaya, bagiku.
No comments:
Post a Comment